Minggu, 07 Oktober 2007
my poetry
INDONESIA, AKU CINTA KAMU
Dinding ini masih beku
Batu ini masih bisu
Lumpur ini masih ragu
Untuk menguak sejarahmu
Tubuhmu penuh goresan kepedihan
Matamu penuh debu kesengsaraan
Mulutmu bisu, telingamu tuli
Hingga muncul cahaya kemerdekaan
Menguak agung di megah khatulistiwa
Melontarkan jauh penginjak tubuh
Membuang lepas penarik lidah
Yang telah membuat bungkuk tulang belakang
Yang telah membuat lidah menjulur kekeringan
Tanpa ekspresi selain daging tipis pembalut kulit
Alhamdulillah……
Kini kemerdekaan telah berumur
Paru-parupun masih lapang
Menghilangkan segala kebekuan
Kebisuan, ketulian, dan keraguan
Tentang kejayaan yang hamper terbenam kedalam lumpur kegelapan
Cerita sebuah Negara besar
Yang santun berbahasa kini tergelar sudah
Indonesia, aku cinta kamu
Dan segala keharuman namamu
Salam merdeka dariku !
DUA PINTU YANG BERBEDA
Kutebar sajadah di lantai beku
Menyatukan jiwa dan raga
Mencoba mengetuk pintu hati
“Bukan pintu Illahi?”
Bukan! Aku tidak perlu mengetuknya
Aku yang salah, pendosa!
Terlarut gula kemalasan taubat
Lihatlah! hari-hari kujalin rapi
Menguntai butir demi butir dosa
Menjadikan kalung panjang berliontin megah
Dan aku bangga menyematnya
“Tapi sebiji sawi pernah kau tebar!”
Iya! atas saran dan doa setan
Akupun sering mencungkilnya
Oh, kenapa hatiku tak kunjung reda
Bukalah! aku ingin masuk sepenuhnya
Malam semakin marut
Kucoba mengetuknya sekali lagi
Dengan sisa butiran peluh
“Bukan pintu Illahi?”
Bukan! Aku tidak perlu mengetuknya!
Karena pintunya tak berdaun.
HARGA KEDAMAIAN
Tangisan, rintihan menggelegak
Berderai menahan sakit
Lihat tubuhku, bukan untuk diinjak, ditendang
Darahku bukan untuk pewarna jalan kusam berbatu
Kedamaian, kesejahteraan…..keadilan
Haruskah ditebus dengan airmata?
Darah bahkan nyawa?
Sungguh suatu harga mati
Baiklah kalau itu aku rela!
Ini dadaku!
Sisipkan pelor-pelor panasmu!
Torehkan tongkatmu dengan tinta hitam jiwamu
Kalau dengan itu pusatkan wibawamu
Keletihan, kedinginan, kelesuan menyeruak kalbu
Ngilu...
Ibu pertiwi menangis lagi,
Ternyata membeli kedamaian pun ia tak mampu
Oh…
PUPUSNYA SEBUAH HARAPAN
Biarlah mentari tertutup kabut kelam
Biar bulan redup tak bersinar
Saat utara pindah ke selatan
Mungkin angina puyuh mendadak ribut
Atau bumi merekah menontonkan isinya…
Aku tak peduli…
Meski pintu-pintu kosong kulewati
Kerangka rapuh tertindih
Tak peduli lolongan anjing jalang menghentak
Isakan ilalang….
Pekikan genta…
Juga si pencabut nyawa!
Aku tak peduli
Aku ingin sendiri
Membeku diantara mayat-mayat kesiangan
Dan…diam
DI TIKUNGAN PASAR
Sosok kecil hitam yang pernah memandangku
Dari sudut trotoar ditikungan pasar
Wajahnya muram menyimpan duka… dan dendam
Akan nasib yang selalu menginjaknya
Menyeret kakek tua menghampirinya
Berbagi sisa sebungkus nasi…
Dan melahap bersama…
Tiga belas tahun menggelincir sudah
Dalam pandangan mata semua telah robah
Toko-toko berjajar-jajar diperlebar
Asap mobil menyesakkan mata
Namun trotoar tetap sama
Ditikungan pasar itu kulihat lagi
Sosok hitam besar menghantam
Menghajar korban
Tangan menari di sela celana
Seakan menagih bagian waktu masih kecilnya
MALAM SETELAH ITU
Kokok ayam merintih membelah subuh
Mengais bekas dan jejak mutiara
Yang bergulir dengan tiga purnama
Jatuh tergelincing, kusam dan berdebu
Mutiara etalase terpuruk di jalanan berlumpur
Berteman giok tua dan kerikil tumpul
Bersama….
Sanggupkah puisi nan indah tertuang
Atau derai air mata yang mengalir kelubuk hati
Ketika tiba saat mutiara berbenah
Melanjutkan perjalanan menyongsong mentari
Berkelebat angan di dahi
Sanggupkah kerikil tumpul tajam kembali
Meniru mencontoh meski tak sama
Walau mirip tak serupa
Menyongsong mentari sebelum senja
Sementara sepatu kotor menginjak sesak nafas tersengal
Dengan keharuan nan dalam
Tetes mata terundung hujan
Langit mendung mengiring
Entah turut bersedih
Atau bertepatan
Seakan menghapus jejak-jejak yang pernah dilalui
Akan doa debu-debu yang kelelahan membasuh
Dan memeluk kerikil yang menggelinding
Entahlah….
Meski banyak batu lain mencoba menggantikan
Dengan ajimat keramatnya
Tak mampu menepis kesunyian malam
Hingga subuh menjemput membawa fajar
Kokok ayampun merintih membelah subuh
Dinding ini masih beku
Batu ini masih bisu
Lumpur ini masih ragu
Untuk menguak sejarahmu
Tubuhmu penuh goresan kepedihan
Matamu penuh debu kesengsaraan
Mulutmu bisu, telingamu tuli
Hingga muncul cahaya kemerdekaan
Menguak agung di megah khatulistiwa
Melontarkan jauh penginjak tubuh
Membuang lepas penarik lidah
Yang telah membuat bungkuk tulang belakang
Yang telah membuat lidah menjulur kekeringan
Tanpa ekspresi selain daging tipis pembalut kulit
Alhamdulillah……
Kini kemerdekaan telah berumur
Paru-parupun masih lapang
Menghilangkan segala kebekuan
Kebisuan, ketulian, dan keraguan
Tentang kejayaan yang hamper terbenam kedalam lumpur kegelapan
Cerita sebuah Negara besar
Yang santun berbahasa kini tergelar sudah
Indonesia, aku cinta kamu
Dan segala keharuman namamu
Salam merdeka dariku !
DUA PINTU YANG BERBEDA
Kutebar sajadah di lantai beku
Menyatukan jiwa dan raga
Mencoba mengetuk pintu hati
“Bukan pintu Illahi?”
Bukan! Aku tidak perlu mengetuknya
Aku yang salah, pendosa!
Terlarut gula kemalasan taubat
Lihatlah! hari-hari kujalin rapi
Menguntai butir demi butir dosa
Menjadikan kalung panjang berliontin megah
Dan aku bangga menyematnya
“Tapi sebiji sawi pernah kau tebar!”
Iya! atas saran dan doa setan
Akupun sering mencungkilnya
Oh, kenapa hatiku tak kunjung reda
Bukalah! aku ingin masuk sepenuhnya
Malam semakin marut
Kucoba mengetuknya sekali lagi
Dengan sisa butiran peluh
“Bukan pintu Illahi?”
Bukan! Aku tidak perlu mengetuknya!
Karena pintunya tak berdaun.
HARGA KEDAMAIAN
Tangisan, rintihan menggelegak
Berderai menahan sakit
Lihat tubuhku, bukan untuk diinjak, ditendang
Darahku bukan untuk pewarna jalan kusam berbatu
Kedamaian, kesejahteraan…..keadilan
Haruskah ditebus dengan airmata?
Darah bahkan nyawa?
Sungguh suatu harga mati
Baiklah kalau itu aku rela!
Ini dadaku!
Sisipkan pelor-pelor panasmu!
Torehkan tongkatmu dengan tinta hitam jiwamu
Kalau dengan itu pusatkan wibawamu
Keletihan, kedinginan, kelesuan menyeruak kalbu
Ngilu...
Ibu pertiwi menangis lagi,
Ternyata membeli kedamaian pun ia tak mampu
Oh…
PUPUSNYA SEBUAH HARAPAN
Biarlah mentari tertutup kabut kelam
Biar bulan redup tak bersinar
Saat utara pindah ke selatan
Mungkin angina puyuh mendadak ribut
Atau bumi merekah menontonkan isinya…
Aku tak peduli…
Meski pintu-pintu kosong kulewati
Kerangka rapuh tertindih
Tak peduli lolongan anjing jalang menghentak
Isakan ilalang….
Pekikan genta…
Juga si pencabut nyawa!
Aku tak peduli
Aku ingin sendiri
Membeku diantara mayat-mayat kesiangan
Dan…diam
DI TIKUNGAN PASAR
Sosok kecil hitam yang pernah memandangku
Dari sudut trotoar ditikungan pasar
Wajahnya muram menyimpan duka… dan dendam
Akan nasib yang selalu menginjaknya
Menyeret kakek tua menghampirinya
Berbagi sisa sebungkus nasi…
Dan melahap bersama…
Tiga belas tahun menggelincir sudah
Dalam pandangan mata semua telah robah
Toko-toko berjajar-jajar diperlebar
Asap mobil menyesakkan mata
Namun trotoar tetap sama
Ditikungan pasar itu kulihat lagi
Sosok hitam besar menghantam
Menghajar korban
Tangan menari di sela celana
Seakan menagih bagian waktu masih kecilnya
MALAM SETELAH ITU
Kokok ayam merintih membelah subuh
Mengais bekas dan jejak mutiara
Yang bergulir dengan tiga purnama
Jatuh tergelincing, kusam dan berdebu
Mutiara etalase terpuruk di jalanan berlumpur
Berteman giok tua dan kerikil tumpul
Bersama….
Sanggupkah puisi nan indah tertuang
Atau derai air mata yang mengalir kelubuk hati
Ketika tiba saat mutiara berbenah
Melanjutkan perjalanan menyongsong mentari
Berkelebat angan di dahi
Sanggupkah kerikil tumpul tajam kembali
Meniru mencontoh meski tak sama
Walau mirip tak serupa
Menyongsong mentari sebelum senja
Sementara sepatu kotor menginjak sesak nafas tersengal
Dengan keharuan nan dalam
Tetes mata terundung hujan
Langit mendung mengiring
Entah turut bersedih
Atau bertepatan
Seakan menghapus jejak-jejak yang pernah dilalui
Akan doa debu-debu yang kelelahan membasuh
Dan memeluk kerikil yang menggelinding
Entahlah….
Meski banyak batu lain mencoba menggantikan
Dengan ajimat keramatnya
Tak mampu menepis kesunyian malam
Hingga subuh menjemput membawa fajar
Kokok ayampun merintih membelah subuh
Berlangganan Postingan [Atom]